Tahun 2011 telah kita tinggalkan dan tahun 2012 menanti kita tapaki, artinya dunia pendidikan memasuki semester genap dan telah dihadang 2(dua) tugas besar selain tugas pokok yang lainnya, yaitu melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan memasuki tahap persiapan Ujian bagi siswanya yang sudah kelas 3 (tiga) atau kelas 12 (dua belas). Tentu saja tahun 2011 yang kita tinggalkan. nampaknya masih menyisakan polemik dan masih terngiang khususnya tentang ujian nasional dengan apalah sebutannya UAN/UN/UNAS, ditambah lagi dengan pembuatan kurikulum yang lebih dikenal dengan KTSP dalam waktu yang singkat. Seiring dengan perkembangan jaman maupun meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap profesi dunia pendidikan, tuntutan kualitas hasil pendidikan terus bergulir tanpa diminta dengan kata-kata.
Hingar bingarnya pro kontra adanya Ujian Nasional yang merupakan sebagai salah satu alat ukur keberhasilan proses pemelajaran di lembaga pendidikan, tetapi cukup telak dalam memvonis keberhasilan belajar siswa. Rasa kekahawatiran / was-was bagi orang tua peserta didik maupun lembaga pendidikan itu sendiri tak bias dielakan. Pro kontra adanya ujian nasional yang menjadi satu-satunya penentu keberhasilan peserta didik dalam menempuh pendidikan, baik oleh kalangan masyarakat pengguna jasa pendidikan, pengguna hasil pendidikan, akademisi maupun lembaga pendidikan, kesemuanya mempunyai alasan-alasan yang masuk akal. Namun bila dicermati memproses suatu produk barang mati mempunyai tingkat kesulitan sangat kecil dan bahannyapun tidak pernah memprotes jangan perlakukan saya seperti ini. Namun memproses suatu produk dari sosok manusia sangatlah tidak mudah, karena sampai saat ini belum ada seorang pakar psikologi yang benar-benar dapat menentukan atau memprediksi jati diri setiap individu manusia dengan tepat generalisasi dan pendekatannya, bahkan dengan uji coba mahluk lain yang bernama binatang. Dari fenomena ini kita semua perlu menyadari bahwa gurupun sebagai pelaku langsung proses adalah sosok manusia yang mempunyai perkembangan psikologis, maupun sosiologis jati dirinya, sehingga masih memerlukan banyak dukungan campur tangan pihak lain untuk bisa mengoptimalkan potensi dirinya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Sistim pendidikan nasional yang lebih dikenal dengan KBK nya (kurikulum berbasis kompetensi) di tahun 2004 mendekatkan pada pemelajaran ketrampilan hidup (life skill learning atau learning skill for life). Sistem ini yang baru berjalan seumur jagung dan belum sampai untuk dapat dilihat hasilnya harus mengalami adanya perubahan dan muara akhirnya yang harus bekerja keras menyesuaikan diri sekali lagi adalah para guru. Bila dilihat proses perubahan sistem pendidikan maupun kurikulum kurang terdengarnya keterlibatan guru, tetapi bila telah menjadi acuan keharusan gurulah yang pertama menerima dampak perubahan itu. Walaupun KTSP masih berpedoman dari SISKO KBK mengharuskan atau menitik beratkan pada pengurangan campur tangan guru (teacher centered) menuju eksplorasi dan promosi potensi diri peserta didik (student centered), tetapi sosok guru tetap diperlukan, karena tidak akan bisa digantikan oleh alat secanggih apapun untuk dapat memotivasi siswa dengan senyuman, keramahan ataupun kemarahannya.
Permasalahan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia menunjukan kondisi yang paling kritis, sehingga harus mendapatkan perhatian dan solusi serius dan secepatnya bagi semua pihak. Permasalahan tersebut antara lain : Pertama, proses pemelajaran yang cenderung teoritis dan kurang berorientasi/berwawasan lingkungan (kurang kontekstual terhadap lingkungan). Kedua, mutu akademik masih rendah bila dalam komparasi internasional. Ketiga, banyak lulusan SLTP dan SLTA yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dan tidak atau belum siap bekerja. Keempat, perubahan sistem pemerintahan termasuk sistem pendidikan dari sentralistik masih terlihat dampaknya terhadap profesionalitas pimpinan sekolah dan guru, otonominasi manajemen sekolah dan otonomi proses pemelajaran guru terhadap peserta didik.
Dalam hal mewujudkan tujuan pemecahan tersebut, maka kurikulum sekolah dipercayakan pembuatannya oleh sekolah untuk disusun dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa, kesesuaian jenis pekerjaan, lingkungan sosial, kebutuhan pembangunan nasional dan daerah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengacu pada PP 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan sebagai penjaminan mutu pendidikan, kemudian diterbitkanlah Permendiknas no. 22/2006 tentang Standard Isi, Permendiknas no. 23/2006 tentang Standard Kompetensi Lulusan, dan dilanjutkan dengan Permendiknas no. 24/2006 tentang pelaksanaan Permendiknas no. 22/2006 dan 23/2006. Salah satu pasal / ayat Permendiknas No. 24 Th. 2006 : Satuan pendidikan yang telah melaksanakan uji coba kurikulum 2004 secara menyeluruh dapat melaksanakan SI dan SKL mulai tahun 06/07 secara menyeluruh pada semua tingkat kelas. Dengan demikian kurikulum 2004 sampai edisi 2006 sudah secara resmi dibatalkan operasionalnya meskipun prinsip berbasis kompetensi tetap digunakan pada substansi / roh KTSP..
KTSP Suatu Peluang Emas
Implikasi dari kebijakan KTSP Sekolah bersama Komite Sekolah dan di bawah koordinasimaupun supervisi Dinasi Pendidikan Propinsi bertujuan agar kepentingan daerah, dan sekolah terakomodasi untuk memuat keunggulan-keunggulan kompetitif. Kurikulum yang selama ini banyak kalangan menilai overload atau para siswa dibawa untuk tahu sedikit pada hal-hal yang banyak, atau terbelenggu oleh regulasi penyeragaman. Dengan KTSP sekolah tidak dilarang mengembangkan kurikulum sendiri dan mendorong upaya proses pemelajaran yang kontekstual dalam pendidikan, pengurangan bahan ajar atau menghilangkan substansi materi pelajaran yang berulang-ulang yang mungkin sekedar pelengkap kosmetika agar terlihat lengkap, sehingga tersedia materi terapan, ketuntasan belajar, meningkatkan kualitas kehidupan dengan pola pembiasaan budi perkerti, disiplin, tertib, kepedulian sosial, karena dengan mengurangi jam pelajaran yang padat diharapkan siswa mempunyaipeluang banyak untuk berimprovisasi dan memperoleh pendalaman bahan/materi pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi sumber daya daerah. Siswa tidak diburu waktu dan mempunyai kesempatan untuk berfikir kritis maupun berefleksi terhadap kegiatannya. Oleh karena itu dalam penyusunan kurikulum harus bertumpu pada landasan yuridis, filosofis dan ekonomis. Materi pengembangan mencakup seluruh komponen kemampuan yang seharusnya dimiliki yaitu meliputi aspek pengetahuan (kognitif), ketrampilan (psikomotorik) dan sikap (afektif).
Skeptivisme memandang kedatangan KTSP
Kurikulum pendidikan di Indonesia selama ini sering berubah baik Isi maupun pedoman operasionalpenerapannyadi lapangan, sehingga masih banyak orang yang penasaran bahwa dengan kurikulum berbasis kompetensi yang lebih dikenal dengan KBK yang masih membingungkan, tetapi tiba-tiba hadir kurikulum baru lagi 2006 yang lebih dikenal dengan KTSP. Banyak kalangan membuat kalimat plesetan terhadap kurikulum baru ini dengan “KaTe SiaPe” atau orang jawa mengatakan “Kurikulum Tergantung Sampeyan Piyambak”.
Ketika KTSP bergulir kita semua tentumencermati semangat baru apa yang akan dihadirkannya, sehingga tidak akan terjebak dalam arus kebiasaan soaialisasi, penataran, atau seminar adanya barang baru, kemudian membawa setumpuk dokumen administrasi ke sekolah dan suasana sibuk menularkan informasi disekolah. Banyak yang mengklaim bahwa perubahan hanya pada bentuk administrasinya saja, sehingga operasionalnya di lapangan dalam proses pembelajaran belum ada perubahan yang berarti/signifikan, bahkan banyak yangmenirukan iklan minuman di media TV “apapun menu makanannya minumnya tetap teh ...”atau seperti lagu “ Aku masih seperti yang dulu”. Hal ini bisa dimaklumi sebenarnya kurikulum bukan satu-satunya komponen dalam pencapaian kualitas keberhasilan tujuan pendidikan, masih ada buku pelajaran penunjang, sarana prasarana, manajemen, keuangan, guru, peran orang tua dan siswanya itu sendiri.
Permasalahannya lagi KBK yang tinggal mengoperasionalkan saja gagal, apalagi kini KTSP menuntut sekolah khusunya para guru harus menyusun sendiri kurikulumnya, sedangkan komponen KTSP yang harus dibuat tidak sesederhana yang dibayangkan. Padahal KTSP tahun ajaran 2006/2007 sudah dioperasionalkan dan selalu dievaluasi setiap saat / minimal setiap tahun, khususnya SKL sudah akan dipakai ujian akhir tahun pelajaran 2011/2012. Yang pasti dalam waktu sangat singkat / sekejap seorang guru harus menjadi seorang pengembang kurikulum yang tidak mudah, akibatnya kurikulum yang dihasilkannyapun hanya adopsi KBK dan sekedar pengisiaan format demi kelengkapan administrasi atau pengembangannyapun sebatas pengetahuan guru. Memang guru sering kali dihadapkanpada bahasa kedinasan yang serba harus tanpa diperhitungkan kualitas profesionalnya, bahkan mungkin belum jelas/tahu substansi pengembangan KTSP terpaksa/dipaksa harus membuatnya. Betapa mudah para penatar dalam sosialisasi KTSP mengatakan seharusnya begini dan begitu, tetapi setelah dikonfirmasikan dengan pelaksana di lapangan / sekolah akan terbukti kesenjangan yang besar tentang asumsi pengembang di tingkat pusat dengan situasi nyata di sekolah.
Para akademisi mengungkapkan apabila dalam penyusunan /pengembanga KTSP tidak dibarengi bimbingan yang intensif akan menjadimusibah nasional, khusunya sekolah-sekolah pada kelompok / kategori menengah atau kembang kempis nafasnya, maka pengembangan KTSP sangat terbatas sesuai yang hanya diketahui oleh sekolah maupun guru-gurunya.
Masalah pendidikan sepertinya tidak akan pernah selesai begitu saja, bahkan jika tidak tepat dalam menentukan solusinya bisa-bisa akan jatuh terjerembab dalan jeratan lingkaran setanpermasalahan.Oleh karena itu Pemerintah yang berusaha mengantisipasi persoalan dengan terobosan baru hendaknya konsisten terhadap regulasi kebijakan yang dilahirkannya, dan seluruh komponen masyarakat termasuk didalamnya orangtua siswa/komite sekolah, siswa, guru, kepala sekolah dan jajaran Dindiknas daerah bersedia membuka mata dan hati terhadap “paradigma baru pendidikan” yang esensinya adalah menghantarkan generasi muda mendatang penerus bangsa ini yang mampu mandiri dan mempunyai jati diri untuk bersaing dengan negara-negara lain, maupun mampu menjadi tuan rumah dan bukan tamu di negara sendiri.
Penulis : Bambang Winarso
Pemerhati dan Praktisi Pendidikan di BLORA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar